Rabu, 29 Februari 2012

BUNGA BANK

Pada zamannya Rasulullah Saw belum dikenal istilah Bank, yang ada saat itu baru gadai. Kemajuan jaman,tidak memungkinkan transaksi atau menyimpan uang dengan cara kontan, maka berkembanglah perbankan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat modern. Maka timbullah masalah apabila kita punya uang simpanan di Bank, yang secara otomatis mendapat bunga dari pemilik Bank. Masalahnya apakah bunga bank itu haram atau halal. Pada tahun 1976 di Mesir diadakan diskusi yang sangat berbobot dipimpin oleh Syekh Muhammad Faraj As-Sanhuri dan dihadiri oleh 14 ulama yang sangat terkemuka. Lima mewakili Mazhab Hanafi, empat mewakili Mazhab Maliki, tiga Mazhab Syafi’i dan seorang bermazhab Hambali. Di akhir diskusi, empat ulama mengharamkan, sembilan membolehkan dan seorang belum dapat memberi putusan. Selanjutnya Mufti Mesir yang kini menjabat Pimpinan Tertinggi Al-Azhar, Syekh Al-Azhar Sayyid Muhammad Thanthawi, cenderung membolehkan Bank konvensional/deposito dalam berbagai bentuknya walau dengan penentuan bunga terlebih dulu. Menurutnya di samping penentuan tersebut menghalangi adanya perselisihan atau penipuan di kemudian hari, juga karena penentuan bunga dilakukan setelah perhitungan yang teliti dan terlaksana antara nasabah dengan bank atas dasar kerelaan mereka. Terlebih, perbankan menjadi salah satu pilar utama dari pembangunan ekonomi secara khusus dan pembangunan nasional secara umum yang manfaatnya kembali kepada seluruh masyarakat. Pada tanggal 2 Desember 2002 M atau 27 Ramadhan 1423 H Majma al-Buhust al-­Islamiyah salah satu badan tertinggi al-Azhar mengadakan rapat membahas soal bank konvensional yang dipimpin oleh Syekh Al-Azhar. Forum itu memutuskan : “Mereka yang bertransaksi dengan atau bank-bank konvensional dan menyerahkan harta dan tabungan mereka kepada bank-­bank agar menjadi wakil mereka dalam mengenvestasikannya dalam berbagai kegiatan yang dibenarkan, dengan imbalan keuntungan yang diberikan kepada mereka serta ditetapkan terlebih dulu pada waktu-waktu yang disepakati bersama orang-orang yang bertransaksi dengannya atas harta-harta itu,maka transaksi dalam bentuk ini adalah halal tanpa syubhat (kesamaran), karena tidak ada teks keagamaan di dalam Al Quran atau Sunah Nabi yang melarang transaksi di mana ditetapkan keuntungan atau bunga terlebih dahulu, selama ke dua belah pihak rela dengan bentuk transaksi tersebut.” Periksa Surat An Nisa’ ayat 29. Dan sekarang telah banyak Bank Syariah.

Senin, 27 Februari 2012

Mengapa BEKERJA,.????

Islam, seperti dijelaskan Imam Ali bin Abi Thalib, mengajarkan bahwa dengan bekerja kita tidak hanya bisa membahagiakan diri sendiri, tapi juga orang lain : keluarga, tetangga, atau saudara. Imam Ali mengatakan, “Tahukah Anda, siapakah orang yang dapat dipercaya oleh manusia dalam harta dan jiwa mereka.”Lalu tambahnya, la bekerja keras untuk membahagia-kan orang lain.” Nabi SAW sendiri menyamakan bekerj a dengan berjuang di jalan Allah. Suatu pagi, seperti ditulis oleh Hamid Husaini dalam bukunya Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad SAW, Rasulullah SAW duduk bersama para sahabat. Saat itu, mereka melihat seorang pemuda berbadan tegap dan kekar sedang berjalan. Seorang diantara mereka berkata sinis. “Huh pemuda apa itu! Alangkah baiknya kalau kemudaan dan kekuatan tubuhnya itu diabdikan dalam perjuangan di jalan Allah, yaitu berperang.” Mendengar ucapan itu, Nabi saw menyahut,” Janganlah kalian berkata begitu!Kalau ia pergi hendak bekerja (berusaha) untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri agar tidak tergantung pada orang lain, itu sudah merupakan perjuangan di jalan Allah. Kalau ia berusaha mencukupi penghidupan ayah ibunya yang sudah lemah, atau memberi nafkah kepada keluarganya agar mereka tidak meminta-minta belas kasihan orang lain, itu pun sudah berjuang di jalan Allah!”Hadis di atas mengingatkan kita untuk berpacu bekerja, setiap hari. Allah memberi rezeki sesuai dengan yang kita usahakan. (Q.S 53:39). Allah SWT juga menjelaskan, “Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (Q.S 28:77). Dalam tafsir Jalalain, Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin Al-Suyuthi menjelaskan bahwa perintah untuk bekerja keras itu adalah agar kita bisa berinfak, dan dengan demikian kita menerima pahala amal saleh. Bekerja menjadi media kita untuk berbuat baik kepada sesama manusia, yaitu dengan memberikan sedekah hasil kita bekerja. Sedangkan Sayyid Muhammad Husain Thabathabai, dalam bukunya Al-Mizan fi Tafsir Alquran menjelaskan bahwa kita harus mencari apa yang diberikan Allah dari harta dunia ini sebagai bekal hidup di akhirat. Harta itu kita infakkan di jalan Allah kepada sesama manusia, dengan harapan kita mendapat ridha-Nya. Kita tidak boleh melupakan atau meninggalkan apa yang direzekikan Allah kepada kita. Karena itu, kita harus bekerja keras di dunia ini untuk tabungan amal di akhirat. Kata Thabatabai, hakikat hidup seorang di dunia ini adalah ia bekerja di dalamnya untuk kehidupan akhirat yang kekal.

Jumat, 24 Februari 2012

BERKAH


Kata ini kini boleh jadi mulai kurang mendapat tempat di hati manusia. Harta dikatakan berkah, jika bermanfaat kepada pemiliknya di dunia dan akhirat. Pengertian ‘bermanfaat bagi pemiliknya di dunia’ pasti mudah dipahami, tapi hanya sedikit yang memahami ‘bermanfaat bagi pemiliknya di akhirat.’ Maraknya penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan bukti nyata pernyataan itu. Ketiga kosakata itu (KKN) lebih menunjuk kepada masalah moral manusia terhadap harta dan tahta. Intinya terletak pada pencarian harta secara serakah dan melalui cara-cara tidak halal. Bagi pelaku KKN, keberkahan yang ada pada setiap rezeki, termasuk harta benda tampaknya tak mereka kenal. Bagi mereka, KKN dianggap ‘menguntungkan’, memperoleh banyak harta dengan cara singkat dan mudah. Sesungguhnya, dalam hati kecilnya, mereka mengetahui resiko apabila praktek KKN itu terbongkar. Minimal, wibawa dan harga diri mereka akan jatuh. Persoalannya, mereka lebih percaya pada asumsi yang diyakini kemudian adalah dengan harta tersebut, kewibawaan dan kebanggaan pun bisa diwujudkan. Sebenarnya persepsi terhadap asumsi tersebut bukan hal baru. Di zaman Mesir Kuno, mereka yang menggunakan asumsi tersebut cukup banyak. Tokoh penganut asumsi ini yang kemudian diabadikan Al-Quran adalah Qorun. ‘Keluarlah Qorun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Moga-moga kiranya kita mempunyai keberuntungan yang besar,”(QS 28:79). Inilah ‘mahzab’ Qorum; kemuliaan hanya melulu identik dengan kemegahan (banyak harta). Bagi para pengikut ‘mahzab’ ini. Langkah paling cepat dan tepat untuk meraih cita-citanya adalah dengan KKN. Persepsi manusia jenis ini terhadap harta jelas melupakan kaidah halal-haram, sehingga wajar kalau kata berkah telah lama hilang dalam hidup mereka. Berbeda dengan persepsi seorang Muslim yang taat,sebutir nasi yang masuk ke dalam perut dari hasil usaha haram, sudah dianggap sama dengan upaya menceburkan dirinya ke dalam neraka. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw mengingatkan bahwa daging yang tumbuh dari makanan yang haram, maka neraka lebih pantas menerimanya. Karena itu, bagaimanapun sulitnya dan sedikitnya harta yang diperoleh, namun syarat kehalalan adalah hal utama agar terhindar dari api neraka. Dalam kaitan ini, keberkahan adalah identik dengan kehalalan dalam mendapatkan dan memanfaatkan harta tersebut. Harta akan berkah manakala diperoleh lewat cara halal dan memberi nilai tambah bagi pemiliknya, baik dunia maupun akhirat. Artinya, tak hanya dirinya yang merasakan manfaat harta itu,namun bisa jadi orang lain pun menikmatinya lewat infak, sedekah atau zakat. Sebab, kesemuanya itu, terutama zakat adalah pencuci atau pembersih harta kita dari segala hal yang berbau subhat (QS 9:103). Dan, manfaat akhirat lewat dihapuskannya dosa menanti kelak di akhirat (QS 5:12).

Rabu, 22 Februari 2012

Arogansi?? Abrohah??

Imam Al Qurthubi mengisahkan dalam tafsirnya bahwa di kota Shon’a Yaman, ada seorang raja muda bernama Abrhohah al Asyrom, bawahan Raja Najasyi dari Habasyah (Ethiopia). Raja Kristen ini mengirim surat kepada Raja Najasyi bahwa dia telah membangun gereja di kota Shon’a sebagai persembahan kepada sang maharaja. Gereja itu dimaksudkannya untuk dijadikan pusat ziarah, menggantikan Ka’bah di Mekah. Dia berencana mengajak orang-orang Arab yang biasa berhaji ke Baitullah di Mekkah berpindah ke gereja di Shon’a. Rupanya, isi surat Abrohah itu bocor di kalangan bangsa Arab dan seorang pemuda dari Banu Kinanah marah karenanya. Pemuda itu lalu bertandang ke Shon’a, mendatangi gereja baru itu, dan membuang hajat di sana. Gemparlah kota Shon’a, Abrohah pun marah besar. Tahu pelakunya pemuda Bani Kinanah di Mekah, Abrohah langsung menyiapkan pasukan bergajah besar-besaran guna membalas dendam, sekaligus hendak menghancurkan Ka’bah demi realisasi tujuan awalnya membuat gereja. Di pinggiran kota Mekah, tentara Abrohah merampas harta benda penduduk Mekah, termasuk 100 ekor unta milik Abdul Mutholib, pemimpin Mekah. Demi melihat pasukan yang begitu besar, Abdul Mutholib melakukan diplomasi membahas pembebasan 100 ekor untanya. Abrohah heran, “Mengapa Anda mau bicara denganku tentang 100
unta yang kurampas dan membiarkan Ka’bah yang merupakan bagian dari
agamamu dan agama nenek moyangmu. Padahal, aku datang untuk menghancurkannya?” “Aku pemilik unta, sedangkan rumah itu ada pemiliknya yang akan melindunginya sendiri dari seranganmu,” kata Abdul
Mutholib. “Dia tidak akan mampu melindunginya dariku,” jawab Abrohah.
Abdul Mutholib dan kaumnya lalu mengungsi. Tapi Allah SWT bertindak sendiri, dengan mengirim tentaranya yang paling lemah, yakni burung-burung yang menghujani pasukan perkasa itu dengan batu hingga hancur. Kisah inilah yang diabadikan Allah SWT dalam surat Al-Fiil.
Nah, jika hari ini ada diantara hamba-hamba Allah yang akan dihancur-leburkan oleh sesuatu kekuatan pasukan yang amat congkak yang mewarisi kecongkakan Abrohah, kiranya Allah SWT tidak akan tinggal diam. Ka’bah sudah sejak sebelum Nabi Ibrahim As, beliulah yang memperbaiki bersama putranya Ismail As, yang sampai saat ini nama kedua Nabi tersebut masih menghiasi sekitar ka’bah yaitu hijir Ismail dan makom Ibrahim. Di ke dua tempat ini para calon haji disunahkan shalat, dengan menghadap ke ka’bah. Para calon haji makin lama makin bertambah banyak,diperkirakan pada tahun 2003 mencapai 2,5 juta orang, termasuk dari Indonesia 200.000 orang, Masjidil Haram setiap kali diperluas oleh Pemerintah Saudi Arabia, agar bisa menampung jamaah haji.

Senin, 20 Februari 2012

Siapa Abu Jahal?

Abu Jahal sangat gusar melihat perkembangan Islam di Mekkah. Dia terus mencari cara untuk menghentikan dakwah Rasulullah saw. Dikisahkan oleh Syeikh Abu Hafsah Umar bin Hasan bahwa Abu Jahal mengumpulkan orang­orang kafir urituk menjebak Rasulullah saw dalam lubang perangkap. Mereka menggali lubang di depan pintu rumah Abu Jahal. Bagian atasnya disamarkan dengan rumput dan ditaburi pasir tipis. Kepada budaknya diperintahkan agar selalu mengawasi lubang tersebut. Dia berpesan bila Muhammad terjerembab ke lubang itu, mereka harus segera menimbunnya dengan pasir. Beberapa saat kemudian Abu Jahal dikabarkan sakit. Dengan sifat mulianya, Rasul berniat menjengukanya. Namun begitu mendekati rumah tersebut , malaikat Jibril memberitahu bahwa Abu Jahal hanya berpura-pura sakit dengan maksud untuk mencelakakan Rasul. Maka Rasul mengurungkan niatnya, dan beliau kembali ke rumah. Rupanya Abu Jahal mengetahui kedatangan Rasul dari bilik, rumahnya. Ketika melihat Rasul hendak kembali, Abu Jahal segera melompat dari tempat pembaringannya dan berlari. Saat itulah dia lupa dengan jebakan yang telah dibuatnya. Dia masuk ke lubang yang cukup dalam itu. Para pengikutnya segera menolong dengan mengulurkan tali ke dalam lubang tersebut. Namun, tali tersebut terlalu pendek, sehingga tak dapat digapai oleh Abu Jahal. Maka tali disambung lagi. Tetapi tetap saja, Abu Jahal tak dapat menj angkaunya. Begitu tali disambung, Abu Jahal semakin dalam terperosok ke lubang itu. Ini terus berulang. Karena rasa takut yang sangat, Abu Jahal berseru dari dalam lubang, “Hai kawan-kawan, cepat kalian susul Muhammad, dan suruh ia datang kemari! Aku yakin tidak ada yang bisa menyelamatkanku selain dia” Mereka segera melaksanakan perintah Abu Jahal dan berhasil mengajak Rasul ke tempat tersebut. Rasul berdiri di bibir lubang dan berkata, “Abu Jahal, pamanku, apabila aku berhasil menyelamatkan paman dari lubang ini apakah paman bersedia beriman kepada Allah, dan Rasul-Nya?” Abu Jahal
segera menyahut,“Ya, aku bersedia!” Maka Rasul pun mengulurkan tanganya
ke dalam lubang. Dengan kekuasaan Allah, tanpa perantaraan tali, Rasul dapat memegangi tangan Abu Jahal dan kemudian mengangkatnya keluar. Setelah berhasil keluar dari dalam lubang itu, dia berkata, “Muhammad, hebat benar sihirmu.” Dan dia ingkar terhadap janjinya. Peristiwa ini sebagai tanda kekuasaan Allah pada diri Rasul saw, dan kemudian beliau bersabda, “Barang siapa yang menggali lubang untuk mencelakakan saudaranya yang Muslim, maka niscaya ia yang akan terperosok ke dalamnya kedalamnya. Wallahu ‘alam.

Sabtu, 18 Februari 2012

Gimana si Adab Bertetangga???

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaklah dia memuliakan tetangganya (HR Imam Bukhari dan Muslim).
Kepada siapa kita meminta pertolongan ketika, misalnya, terjadi kebakaran atau pencurian di rumah kita? Saudara kandung kita ataukah orang tua kita? Jawabnya pasti pada tetangga terdekat. Tetangga adalah orang terdekat yang bakal kita mintai bantuan saat kita membutuhkannya dan mereka juga orang pertama yang bakal memberikan bantuannya pada kita.
Acapkali, karena alasan tetangga, kita merasa nyaman dalam hidup berumah tangga: merasa aman, privasi yang terjaga, dan ketenangan hidup. Dan, bukan tidak mungkin karena tetangga pula perpecahan suatu rumah tangga terjadi, karena bisik-bisik tetangga yang meresahkan, atau bisa karena sikap dingin mereka saat kita membutuhkan pertolongan. Dengan alasan itulah kita menginginkan rumah kita berada di sana, bukan sekedar lokasi atau bentuk rumah, tapi juga lingkungan yang aman dan nyaman.

Islam sebagai system kehidupan yang paripurna demikian memperhatikan adab bertetangga. Landasan kehidupan bertetangga bagi seorang Muslim bukanlah karena asas manfaat - misalkan dengan alasan supaya tidak saling mengganggu - akan tetapi karena dorongan keimanan. Allah SWT menegaskan, “Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim dan orang miskin, serta tetangga yang dekat dan yang jauh,” (An Nisa:36). Imam Ahmad dan Al Hakim meriwayatkan satu hadis dari Abu Hurairah yang menuturkan bahwa para sahabat bertanya mengenai dua orang wanita yang berbeda sikap terhadap tetangga-tetangga mereka. Dikatakan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Fulanah sangat rajin shalat di malam hari dan berpuasa (sunah) di siang hari, tetapi pada lisannya ada sesuatu yang mengganggu tetangganya.” Rasulullah saw menjelaskan, “Tidak ada kebaikan padanya dan dia di neraka.” Para sahabat berkata lagi, “Sesungguhnya Fulanah hanya shalat yang wajib dan hanya berpuasa Ramadhan dan dia menunaikan zakat, tetapi tidak ada sesuatu pada lisannya yang mengganggu tetangganya seorang pun.” Rasulullah saw menjawab, “Wanita itu di dalam surga.” Penghormatan kepada tetangga itu bukan hanya ditujukan bagi sesama Muslim saja, tetapi juga kepada mereka yang berbeda agama. Diriwayatkan oleh Abu Bakar al Bazzar dan Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ada tiga golongan tetangga, yaitu tetangga yang mempunyai satu hak, tetangga yang mempunyai dua hak, dan tetangga yang mempunyai tiga hak. Adapun tetangga yang mempunyai satu hak, yaitu hak ketetanggaan saja, ialah tetangga musryik dan bukan kerabat. Sedangkan tetangga yang mempunyai dua hak ialah tetangga Muslim yang bukan kerabat, ia mempunyai hak sesama Muslim dan hak sebagai tetangga. Dan, tetangga yang mempunyai tiga hak ialah tetangga Muslim yang juga mempunyai hubungan darah.”

Rabu, 15 Februari 2012

Adab Bertetangga

"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaklah dia memuliakan tetangganya" (HR Imam Bukhari dan Muslim).
Kepada siapa kita meminta pertolongan ketika, misalnya, terjadi kebakaran atau pencurian di rumah kita? Saudara kandung kita ataukah orang tua kita? Jawabnya pasti pada tetangga terdekat. Tetangga adalah orang terdekat yang bakal kita mintai bantuan saat kita membutuhkannya dan mereka juga orang pertama yang bakal memberikan bantuannya pada kita.
Acapkali, karena alasan tetangga, kita merasa nyaman dalam hidup berumah tangga: merasa aman, privasi yang terjaga, dan ketenangan hidup. Dan, bukan tidak mungkin karena tetangga pula perpecahan suatu rumah tangga terjadi, karena bisik-bisik tetangga yang meresahkan, atau bisa karena sikap dingin mereka saat kita membutuhkan pertolongan. Dengan alasan itulah kita menginginkan rumah kita berada di sana, bukan sekedar lokasi atau bentuk rumah, tapi juga lingkungan yang aman dan nyaman.

Islam sebagai system kehidupan yang paripurna demikian memperhatikan adab bertetangga. Landasan kehidupan bertetangga bagi seorang Muslim bukanlah karena asas manfaat - misalkan dengan alasan supaya tidak saling mengganggu - akan tetapi karena dorongan keimanan. Allah SWT menegaskan, “Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim dan orang miskin, serta tetangga yang dekat dan yang jauh,” (An Nisa:36). Imam Ahmad dan Al Hakim meriwayatkan satu hadis dari Abu Hurairah yang menuturkan bahwa para sahabat bertanya mengenai dua orang wanita yang berbeda sikap terhadap tetangga-tetangga mereka. Dikatakan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Fulanah sangat rajin shalat di malam hari dan berpuasa (sunah) di siang hari, tetapi pada lisannya ada sesuatu yang mengganggu tetangganya.” Rasulullah saw menjelaskan, “Tidak ada kebaikan padanya dan dia di neraka.” Para sahabat berkata lagi, “Sesungguhnya Fulanah hanya shalat yang wajib dan hanya berpuasa Ramadhan dan dia menunaikan zakat, tetapi tidak ada sesuatu pada lisannya yang mengganggu tetangganya seorang pun.” Rasulullah saw menjawab, “Wanita itu di dalam surga.” Penghormatan kepada tetangga itu bukan hanya ditujukan bagi sesama Muslim saja, tetapi juga kepada mereka yang berbeda agama. Diriwayatkan oleh Abu Bakar al Bazzar dan Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ada tiga golongan tetangga, yaitu tetangga yang mempunyai satu hak, tetangga yang mempunyai dua hak, dan tetangga yang mempunyai tiga hak. Adapun tetangga yang mempunyai satu hak, yaitu hak ketetanggaan saja, ialah tetangga musryik dan bukan kerabat. Sedangkan tetangga yang mempunyai dua hak ialah tetangga Muslim yang bukan kerabat, ia mempunyai hak sesama Muslim dan hak sebagai tetangga. Dan, tetangga yang mempunyai tiga hak ialah tetangga Muslim yang juga mempunyai hubungan darah.”

Senin, 13 Februari 2012

Aqiqah



‘Aqiqah adalah sembelihan yang disembelih untuk anak yang baru lahir. Pengarang kitab Mukhtar Ash Ashihah mengatakan Al ‘Aqiqah atau Al ‘Iqqah adalah rambut makhluk yang baru dilahirkan baik manusia atau binatang. Dinamai pula daripadanya binatang yang disembelih untuk anak yang baru lahir pada hari ketujuh. ‘Aqiqah hukumnya sunnah mu’akkad, meskipun orang tua dalam keadaan sulit. ‘Aqiqah dilakukan Rasulullah saw dan para sahabat. Ashbabus Sunah meriwayatkan Nabi saw melakukan ‘aqiqah bagi Hasan dan Husein masing-masing seekor kambing (qibas). Hukum ‘aqiqah adalah hukum yang berlaku bagi kurban, hanya tidak dibolehkan bergabung (musyarakah).
Keutamaan dari ‘aqiqah ini seperti diriwayatkan dari Samurah bahwa Rasulullah saw bersabda : “Setiap anak yang lahir itu terpelihara dengan ‘aqiqahnya yang disembelih untuknya pada hari ketujuhnya, ia dicukur dan diberi nama. “Yang lebih utama untuk anak laki-laki disembelihkan dua ekor kambing atau domba yang mirip dan umurnya bersamaan. Sedang untuk anak perempuan satu ekor kambing. Dari Ummu Karz Al Ka’biyah berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : Untuk anak laki-­laki dua ekor kambing yang mirip dan untuk anak perempuan satu ekor.” Jika memungkinkan, penyembelihan dilangsungkan pada hari ketujuh, jika tidak, maka pada hari keempat belas, dan jika yang demikian masih tidak memungkinkan maka kapan saja. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al Baihaqie dikatakan : “’Aqiqah disembelih pada hari ketujuh dan hari keempat belas dan pada hari kedua puluh satu.” Disunahkan anak yang baru lahir diberi nama yang bagus dan dicukur rambutnya serta bersedekah seberat timbangan rambutnya dengan perak jika hal itu memung­kinkan. Berdalil kepada hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan At Tirmidzi dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW mengaqiqahkan Hasan satu ekor kambing dan berseru : “Hai Fatimah cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak kepada orang­-orang miskin seberat timbangan (rambut) nya. Mereka berdua lalu menimbangnya, adalah timbangannya waktu itu seberat satu dirham atau sebagian dirham.” Mazhab Hambali berpendapat apabila hari kurban dan hari ‘aqiqah jatuh pada hari yang sama, maka cukup satu sembelihan untuknya. Seperti halnya bila hari Raya Idul Fitri jatuh pada hari jumat, sunah mandi untuk salah satunya.

Akhir Kehidupan



Dikisahkan, ada dua orang bersaudara yang satu seorang ahli ibadah (abid) dan yang lain kerap melakukan maksiat. Suatu hari nafsu si abid ini diperdaya untuk mengikuti tarikan syahwatnya, hanya sekedar rehat saja, setelah bertahun-tahun usianya habis untuk ibadah. “Setelah itu, toh, bisa bertobat. Allah kan Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” demikian hasutan nafsunya.
Dalam benaknya, si abid berkata, “Sekali waktu boleh juga aku turun ke tempat saudaraku di lantai bawah untuk bergabung bersamanya dalam melampiaskan nafsu syahwat dan pesta pora. Setelah itu, dari sisa usia yang ada, aku akan bertobat dan kembali beribadah.” Si ahli ibadah pun setuju dengan niatnya itu. Sedangkan saudaranya yang gemar maksiat berkata seorang diri, “Umurku sudah dihabiskan dalam kemaksiatan....Kelak saudaraku yang ahli ibadah akan masuk sorga, dan aku akan masuk neraka... Wallahi, demi Allah! Kini aku bertobat, naik ke lantai atas di tempat saudaraku dan ikut ibadah bersamanya selama sisa hidupku ini. Semoga Allah mengampuniku.”

Kemudian ia pun naik dengan niat yang mantap untuk bertobat, sedangkan saudaranya turun dengan niat untuk maksiat. Namun yang terakhir ini kakinya terpeleset, lalu jatuh persis menimpa saudaranya, dan akhirnya kedua bersaudara itu pun mati bersama-sama. Maka ketika dibangkitkan, si abid mengantongi niat untuk maksiat, sedangkan si pelaku maksiat punya niat untuk bertobat. Kisah yang terdapat dalam buku Mi’ah Qishshah wa Qishshah, karya M. Amin at Jundi, ini menggugah kita perihal jalan hidup manusia yang sungguh misterius. Seperti doa yang diajarkan Nabi SAW, tentu saja kita berharap memperoleh khusnul-khatimah dan berlindung dari su'’ul-khatimah. Namun, ketika kita semua tengah berarak menuju titik finish itu, kita sering terkecoh dengan amalan kita sendiri, seraya menganggap diri kita saja yang paling saleh dan menilai orang lain tidak ada apa-apanya. Padahal, Masya Allah, amal kita itu hanya setetes saja dari lautan kewajiban yang berada di pundak kita. Itupun kalau ikhlas kita melakukannya, kalau tidak? Na'udzubilahi mindzalik. “Sesungguhnya segala perbuatan ditentukan oleh yang terakhir,” kata Nabi SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Karenanya jangan sekali-kali tertipu oleh perilaku baik manusia, juga jangan putus asa dengan perilaku buruk seseorang karena yang paling menentukan adalah akhir kehidupan manusia.

Akhlak Sosial Islam


Secara garis besar, ajaran Islam meliputi tiga aspek penting, yaitu akidah, syariah dan akhlak. Dengan begitu bisa dikatakan akhlak merupakan sepertiga dari ajaran Islam dan sekaligus menjadi puncak dari seluruh rangkaian ajaran Islam. Bahkan semua bentuk ibadah, bermuara pada pembentukan akhlak yang mulia. Ini tergambar misalnya bahwa shalat dimaksudkan untuk mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar, puasa berujung pada ketaqwaan, zakat untuk membersihkan harta dan jiwa, sedangkan ibadah haji menitik beratkan pada pengorbanan fisik, harta dan persaudaraan sedunia. Akhlak yang mulia berakar dari pancaran keimanan. Itulah sebabnya, kata ‘iman dan amal shaleh’ selalu disebut bertautan dalam Al Quran. Artinya keimanan yang kuat akan mendorong seorang Muslim untuk senantiasa melakukan perbuatan yang baik.
Akhlak mulia Islam bermula dari keshalehan pribadi/individu. Dan keshalehan pribadi itulah yang akan membentuk keluarga yang shaleh. Dan keluarga yang shaleh merupakan salah satu ciri bagi suatu tatanan masyarakat sosial yang bermoral. Keshalehan pribadi seorang Muslim berawal dari kebersihan jiwa yang terhindar dari berbagai macam penyakit hati, seperti: iri, hasut, dengki, benci dan lain-lain. Dalam jiwa yang bersih, cinta tulus ikhlas terhadap sesama manusia akan tumbuh dan terpancar jelas pada penampilan dan raut wajah serta lisan yang selalu berkata baik/benar. Rasulullah saw menjelaskan “Tersenyum di depan wajah saudaramu adalah shadakoh.” (HR Tirmidzi). Pada hadis lain beliau mengatakan : “Orang Muslim itu adalah orang yang membuat orang lain terbebas dari gangguan lidah dan tangannya.” (HR. Muslim). Saat Ini ketika bangsa kita sedang menghadapi berbagai macam masalah sosial, selaku Muslim kita dituntut untuk selalu bersikap proaktif yang pada pokoknya ‘Jangan cela kegelapan, tapi nyalakanlah pelita.’ Dengan kata lain seorang muslim senantiasa berpartisipasi langsung dalam bentuk perbuatan. Seperti membantu orang yang kesusahan, mendamaikan sesama yang sedang bertengkar atau berselisih paham, bukannya lalu menjadi propokator yang mengeruhkan keadaan, hingga terjadi kerusuhan dan kekacauan. Sebagaimana Rasulullah saw telah mengajarkan kita lewat sabdanya: “Tebarkanlah salam, berikanlah makan kepada orang yang kelaparan, sambunglah hubungan silaturahmi dan shalatlah tahajud, tatkala semua orang terlelap tidur, niscaya kamu akan masuk surga dengan aman dan sejahtera” (HR Tirmidzi). Jadi tindakan orang Muslim harus selalu dihiasi dengan akhlak mulia.