Kamis, 19 April 2018

Falsafah KURBAN

Peribahasa Jawa yang berbunyi “Jer Basuki Mawa Beya” mempunyai kemiripan makna filosofis dengan ajaran qurban dalam Islam yang prinsipnya ialah bahwa untuk mencapai cita-cita yang tinggi atau sesuatu yang luhur diperlukan pengorbanan. Namun pengorbanan menurut ajaran Islam mempunyai nuansa tersendiri. Adalah Ibrahim, seorang nabi kekasih Allah, yang selalu kita ulang-ulang sejarah hidupnya setiap kali kita menyambut Idul Adha yang disebut juga Hari Raya Kurban atau Hari Raya Haji. Beliaulah teladan utama tentang besarnya pengorbanan seorang anak manusia demi membela kebenaran dan demi mentaati perintah Khaliknya. Sejarah perjuangan Nabi Ibrahim kiranya perlu selalu kita renungkan, khususnya pada zaman modern sekarang ini dimana banyak orang secara sadar atau tidak jalan pikirannya sudah di pengaruhi oleh faham materialisme dan sekularisme. Gaya hidup konsumeritas telah memupuk suburnya pemikiran materialistis. Penampakan kehidupan yang glamour di sekelilingnya telah menggodanya untuk berlomba-lomba mengejarnya. “Kalau si Joni dan si Toni bisa hidup bermewah-mewah dan bersenang-senang, mengapa kita tidak menirunya.” Kata mereka. Akhirnya mereka mengambil kesimpulan, bahwa dalam hidup ini yang penting adalah materi atau tepatnya kesejahteraan materiil. Kalau materi dianggap sebagai sesuatu yang paling penting adalah materi atau tepatnya kesejahteraan materiil. Kalau materi dianggap sebagai sesuatu yang paling penting maka akibatnya masalah spiritual bergeser kedudukannya menjadi masalah yang tidak penting. Dalam masyarakat masih juga sering didengung-dengungkan masalah pentingnya pengorbanan demi mencapai tujuan yang luhur. Dan pendapat umum mengakui juga bahwa pengorbanan merupakan perbuatan yang mulia. Namun dalam kenyataannya masalah pengorbanan lebih mudah diucapkan daripada dipratekkan. Atas dasar pemikiran materialistis itu memang orang tidak mau mengeluarkan sesuatu kalau tidak ada imbalan atau keuntungannya. Lebih-lebih karena pemikiran materialistis itu sering dibarengi dengan pemikiran individualistis dan egoistis. Bagi mereka yang berpola pikir demikian, dalam hidup ini yang penting adalah memikirkan dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Tanpa dilandasi oleh suatu idealisme atau keimanan kepada Tuhan yang menjanjikan pahala bagi ummat
Nya yang suka berkorban, maka orang akan merasa berat untuk menyumbangkan tenaga, pikiran, harta, jiwa dan raganya jika tidak ada imbalan atau keuntungan yang memadai. Di sinilah letak pentingnya selalu menghidupkan semangat berkurban kepada masyarakat khususnya generasi muda, yang akan meneruskan perjalanan hidup bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah. Bagi umat Islam Indonesia, dalam menyambut datangnya Idul Adha ini perlu merenungkan kehidupan agama dan bangsanya.

Kamis, 05 April 2018

Fastabiqul Khairat

Lagi... lagi.... dan lagi lagi.... mengutip kultum.. semoga bermanfaat...

Pada suatu pagi di hadapan para sahabat, Rasulullah saw bersabda,“Siapakah di antara kalian yang pagi ini berpuasa?” Abu Bakar ra berkata, “Saya.” Nabi bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang telah memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Nabi bertanya lagi , “Siapa yang telah menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Rasulullah bertanya lagi, “Siapakah yang telah mengantarkan jenazah?” (Lagi-lagi) Abu Bakar menjawab, “Saya.” Rasulullah saw kemudian bersabda, “Tidaklah amalan-amalan ini terkumpul pada diri seseorang kecuali ia akan masuk surga.” (HR Ibnu Huzaimah dalam Shahih-nya). Yang menarik dari pribadi Abu Bakar ialah kecepatan dan ketepatannya dalam meraih dan merespon peluang amal saleh. Sikap fastabiqul khairat selalu melekat erat pada pribadinya, dalam setiap waktu dan kesempatan. Dalam perang Tabuk ia mengungguli seluruh sahabatnya termasuk Umar bin Khattab dengan menginfaqkan hartanya. Menurut Alquran, hakikat diciptakan-Nya kematian dan kehidupan merupakan uji kualitas bagi manusia, siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya. (QS Al Mulk:2). Karenanya yang dituntut dari kita adalah menjadi yang terbaik dari yang baik, ahsanu ‘amalan, bukan terbaik dari yang buruk. Memang, setelah diciptakan dan disempurnakannya manusia dengan sebaik
baiknya penciptaan atas seluruh mahluk di jagat raya ini (At Tiin:4), ada saja segolongan manusia yang memilih jalan hina-dina menjadi serendah-rendah mahluk, asfala safilin. (At Tiin:5). Itulah fitrah manusia, yakni berada antara fujur dan taqwa. Maka , beruntunglah mereka yang mensucikan dirinya dan celakalah mereka yang mengotorinya (Asy Syam: 7-8). Alquran juga membagi kecenderungan amal manusia dalam tiga kategori, zhalimun lin-nafsi (yang menganiaya diri sendiri), muqtashid (pertengahan), dan saabiqun bil khairat (yang berlomba dalam kebaikan). (QS Faathir:32). Menurut Ibnu Abbas, ayat ini menggambarkan umat Muhammad yang diwariskan kepadanya kitab-kitab Allah yang pernah diturunkan kepada para rasul-Nya. Mereka terdiri atas tiga golongan, yakni golongan yang menganiaya dirinya akan memperoleh ampunan, golongan yang secara sederhana patuh pada ajaran agama akan menghadapi hisab yang ringan, dan golongan yang sangat rajin berbuat kebajikan akan dimasukkan surga tanpa hisab. (berdasarkan riwayat Ali bin Abi Thalhah, Mukhtashar Ibnu Katsir). Dalam realitas kekinian, kita menghadapi kondisi sebagaimana Abu Bakar menghadapinya. Akibat krisis yang disebabkan oleh ulah orang-orang yang tamak harta dan haus kekuasaan, kini banyak orang miskin yang terlantar di sekitar kita, banyak orang sakit yang butuh pertolongan, ratusan ribu pengungsi , anak yatim, janda-janda korban peperangan dan kerusuhan yang butuh uluran tangan. Mereka merindukan kehadiran ribuan “Abu Bakar”. Yang dibutuhkan umat ini bukanlah sekedar orang-orang saleh untuk dirinya sendiri, tetapi orang-orang mushlih yang mentranformasikan kesalehannya menjadi kesalehan sosial (Al Ashr: l-3). Benarlah apa yang disabdakan Nabi saw bahwa sebaik-baiknya manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain. Fastabiqul Khairat!

Rabu, 04 April 2018

Dendam

Manusia adalah makhluk yang lemah, selama hidupnya tidak luput dari kesalahan, baik disengaja atau tidak. Pemimpin biasa jadi kurang adil dan kurang amanah terhadap rakyatnya. Rakyat pun boleh jadi kurang taat kepada pemimpinnya: Antar tetangga, teman atau rival politik kadangkala juga muncul sikap saling curiga dan saling benci.
Lantaran kesalahan-kesalahan itu, sewajarnyalah manusia saling memaafkan
secara tulus,  dan tak menyimpan dendam. Meminta maaf adalah perbuatan mulia, namun kata Rasulullah saw yang paling mulia adalah kesediaan memaafkan sebelum seseorang meminta maaf (HR Muslim dan Abu Dawud).
Hadis ini mengisyaratkan bahwa sebagai orang beriman kita harus menjauhi
rasa dendam. Dendam bukan saja merusak tatanan pergaulan, tetapi lebih dari itu, yakni merusak ketenangan jiwa. Selagi kita lihat orang yang tidak kita senangi, selama itu pula jiwa kita tidak tenteram, jauh dari ampunan Allah dan surga. Allah berfirman: “Bersegeralah kamu menuju ampunan Tuhanmu dan surga seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang yang bertaqwa. Yakni, orang yang berderma ketika senang dan susah, menahan marah (tidak dendam) dan suka memaafkan sesama manusia...” (QS Ali -Imran [3] :133-134). Rasulullah saw adalah sosok yang sangat pemaaf, dan patut diteladani. Sikap ini pernah ditunjukkan Nabi Muhammad saw, ketika seorang Arab Badui kencing di Masjid Nabawi. Para sahabat menjadi marah, tetapi Rasulullah saw berkata : “Biarkan saja dia, siramlah air kencingnya itu,
senangkan dan jangan ganggu dia,” (HR Bukhari). Abu Hurairah pun menceritakan sikap mulia Rasulullah saw. Nabi saw pernah diminta untuk mengutuk orang non Muslim, namun beliau berkata: “Aku tidak diutus untuk mengutuk orang,  tetapi menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia.” (HR Muslim).
Rasulullah saw tidak pernah mengecam seseorang, tetapi selalu memaafkan
kesalahannya. Kendati sangat membenci orang yang berbuat salah, tetapi beliau tidak pernah menuntut balas dari luka-luka yang beliau derita, tidak pernah menyakiti hamba sahaya, pelayan, dan binatang, serta tidak pernah menolak permohonan yang sah (HR Abu Dawud dari Aisyah).Tentang berkeluarga, dalam riwayat yang sama ditemukan bahwa ketika suatu malam
beliau terlambat pulang, pintu telah terkunci. Beliau tak marah pada istrinya,
malah ia tidur di depan pintu. Beliau terbangun ketika pintu dibuka Aisyah di waktu pagi, Rasulullah saw pun masih mau menyapa ramah istrinya: “Ya
humaira (yang pipinya kemerah-merahan), maaflan aku terlambat pulang.” Namun, kelemahlembutan sesama orang beriman tidak mengurangi ketegasan beliau kepada orang kafir (QS Al Fath [48]:29).

Kebenaran tanpa akal akan menang melawan akal tanpa kebenaran.