Filosofi ibadah haji,
menurut Ali Syariati, tidak lain daripada perjalanan menghampiri dan mendekati
Allah SWT. Perjalanan ini secara simbolik dinyatakan dengan mendatangi “rumah-Nya”,
yaitu kabah atau Baitullah di
kota suci Mekah.
Baitullah, yang menjadi tujuan utama perjalanan haji ini, memberi daya tarik
tersendiri bagi kaum muslimin. Pasalnya, ia memiliki kemuliaan dan keutamaan
yang tidak dimiliki oleh rumah ibadah manapun.
Pertama, ia merupakan
tempat ibadah pertama yang dibangun di muka bumi
(Ali Imran, 96). la
pertama baik dari segi waktu maupun kemuliaannya.
Kedua, ia diberi nama
Baitullah, berarti “rumah Allah”. Ini berarti namanya disandarkan langsung
dengan nama Allah SWT.
Ketiga, ia menjadikan sebagai tempat bagi pelaksanaan bermacam ibadah dalam Islam,
seperti haji, umrah, thawaf, dan juga sa'i.
Keempat, ia dijadikan sebagai
kiblat atau pusat orientasi bagi muslimin di seluruh dunia dalam ibadah shalat.
Karena kemuliaan yang disebut terakhir ini, tulis Rasyid Ridha, maka tak sesaat
pun berlalu, di waktu siang atau pun malam, kecuali kaum muslimin menghadapkan
wajah mereka ke arahnya. (tafsir al-Manar, 4/7).
Dari sini kita dapat
mengetahui bahwa kemuliaan Baitullah itu lebih terkait
dengan makna dan
fungsinya, bukan karena letak bangunannya dan bahan
materialnya konon, dikirim
dari surga. Namun, riwayat semacam ini ditolak
oleh Abduh dan Rasyid
Riddha. Menurut mereka riwayat itu lemah dan berbau israiliyat. Komentar Umar
Ibnu Khattab mengenai hajar aswad yang berada di kabah itu, agaknya memperkuat
pendapat Abduh dan Ridha di atas. Diceritakan ketika Umar menempelkan tangannya
di batu hitam itu ia berkata, “Aku tahu bahwa engkau hanyalah batu. Seandainya
aku tak mengetahui bahwa Rasulullah menciummu, aku tak pernah akan menciummu.”
Usai berkata demikian, Umar pun mendekatinya, lalu menciumnya. (HR Bukhari dan Muslim).
Baitullah, seperti tersebut dalam Alquran, dibangun oleh Nabi Ibrahim dan
putranya, Ismail (al Baqarah, 127). Sebagai pendiri, Ibrahim dan Ismail
diperintahkan oleh Allah SWT agar senantiasa menjaga dan memelihara kesuciannya,
baik secara fisik maupun maknawi. (Al Baqarah, 126). Nabi Muhammad saw yang
merupakan pelanjut keduanya, tentu mendapat tugas yang sama. Begitu juga kaum
muslimin, yaitu setiap orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Baitullah, seperti halnya Shafa, Marwa, dan Arafah, merupakan salah satu syiar
Allah yang amat penting. Setiap muslim harus menghormati dan memuliakannya.
Penghormatan terhadap syiar ini, didefinisikan sebagai salah satu tanda dari
iman dan taqwa. Allah berfirman: “Demikianlah (perintah Allah). Dan barang
siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari
ketaqwaan hati.” (Al-Haj 32).